Ad Under Header

Tak Ada Agama Yang Lebih Tinggi Daripada Kebenaran: Kisah Kelompok Teosofi di Sanggar Penerangan Surabaya

Tak Ada Agama Yang Lebih Tinggi Daripada Kebenaran: Kisah Kelompok Teosofi di Sanggar Penerangan Surabaya

 
Lambang Satya Nasti Paro Dharma

Seperti biasanya, Jalan Serayu tampak panas di minggu siang. Suara desing sepeda motor dan mobil di jalan itu membikin suasana semakin riuh dan berisik. Namun penjual warung kopi dan warung makan di sebelah barat jalan tampak biasa dan santai menghadapi berbagai pembeli yang datang menyerbu. Di timur jalan, Gereja Katolik Bebas St. Bonafacius berdiri megah dalam kesunyian sehabis misa pagi. Tepat di utara gereja itu, berdiri bangunan kuno yang tampaknya sudah berusia lebih dari 1 abad.

Dinding bangunan itu masih kokoh walau kulitnya mulai sedikit terkelupas. Pintunya terbuka lebar seolah menandakan siapapun bisa memasukinya. Di atas pintu itu bertengger tulisan berwarna hitam: “Sanggar Penerangan”. Saat saya masuk, seorang pria tua bangkit dari duduknya dan menghampiri saya sambil berujar: “Silahkan masuk”. Ada tiga pria lain yang yang duduk di kursi berbahan jati. Salah satu dari mereka mengatakan: “Jangan sungkan-sungkan mas”. Seolah seperti kawan lama, mereka kemudian mengajak berbicara tanpa ada rasa segan.

Bagian dalam itu mirip ruang tamu. Di sana ada beberapa kursi dan dua meja. Satu meja berukuran kecil dan yang lain berukuran agak besar. Di belakang meja itu berdiri lemari kayu yang melindungi buku-buku yang agaknya sudah berusia tua hingga judulnya sudah tak kelihatan lagi. Di belakang tempat itu ada loji yang kemudian saya baru tahu digunakan sebagai tempat untuk meditasi dan peribadatan.

Di bangunan inilah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Teosofi hadir setiap minggu. Mereka biasanya saling berdiskusi mengenai spiritualitas, filsafat dan sains dari pukul 7 hingga menjelang sore. Kelompok yang mengaku mengikuti ajaran Helena Blavatsky ini menjalankan aktivitas spiritualnya di Surabaya sejak tahun 1908. Kelompok ini pertama kali hadir di Pekalongan dan kemudian menyebar ke berbagai pelosok Indonesia.

Tak lama berselang, seorang perempuan masuk. Ia berkacamata dan memakai celana jeans. Ia juga anggota kelompok teosofi. Selagi ia duduk, tiba-tiba dua anak muda masuk. Yang satu laki-laki dan yang lainnya perempuan. Mereka berdua tampak seperti sepasang hati. Laki-laki itu menyukai hal-hal yang berbau gnostik, sehingga ia datang ke teosofi ini untuk mendalaminya. Dan ia mengaku dengan bangga sebagai seorang agnostik.

Akhirnya diskusi dimulai. Mereka banyak berbicara tentang agama, spiritualitas, Tuhan, filsafat dsb hingga kemudian Rudi yang menjadi senior teosofi bercerita bahwa sebelum Covid-19 menyerang Surabaya kelompok teosofi aktif menjalankan aktivitasnya. Selama minggu ganjil mereka pergi ke tempat teosofi yang ada di Malang. Sementara minggu genap digunakan untuk kegiatan diskusi di sanggar penerangaan. Namun, saat Covid-19 menyebar di Surabaya, kelompok teosofi menutup kegiatannya hampir selama tiga tahun. Kini mereka kembali menghidupkan aktivitasnya setiap minggu, namun hanya di sanggar penerangan saja.

Ia pun dengan nada getir menceritakan banyaknya aset teosofi yang dijual di Indonesia. “Di Jogja dijual, di Madiun di jual, di Solo di jual”, ungkapnya. Bahkan, ada beberapa yang dijual oleh ketua atau anak ketua itu sendiri. Ada pula yang kemudian dibalikkan nama menjadi yayasan Borobudur karena anggotanya yang kebanyakan beragama Buddha. Dengan ini, mereka berusaha untuk menjaga aset sanggar mereka. Mereka tak mau aset mereka di masukkan dalam cagar alam karena bisa jadi diplesetkan sebagai aset negara.

Tak perlu uang pendaftaran dan tak perlu iuran untuk menjadi anggota teosofi. “Untuk menjadi anggota teosofi, orang cuma perlu mengakui tiga tujuan dari teosofi. Pertama, menjalin persaudaran dari berbagai makhluk tanpa memandang ras, warna kulit, bangsa dsb. Kedua, mempelajari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Ketiga, menggali potensi ketuhanan yang ada dalam diri manusia”, ungkap Rudi. “Jadi kalau mau dibilang apa yang kita lakukan itu adalah Studi, Meditasi dan Praktek yang kita singkat menjadi SMP”, tambah Dani.

Setiap anggota mempunyai pengalaman spiritual tersenditri sebelum menjadi anggota teosofi. Misalnya, Ifa yang mengaku bahwa sebelum menjadi anggota teosofi ia dihempas bencana yang dahsyat. Selama itu ia kerap beribadah dan meminta doa kepada Tuhan. “Sholat saya sampai gak kehitung mas” akunya kepada saya. Bahkan, ia sampai pernah berniat ingin memakai cadar.

Hingga kemudian ia menemukan sanggar ini ketika mau melawat ke rumah temannya. “Dulu di depan ini masih banyak ilalangnya”, ungkapnya. Di sanggar inilah ia kemudian menemukan keteduhan dan lantas masuk ke dunia spritual. “Kalau orang sudah berspiritualitas tak ada yang namanya label dan judgment”, katanya.

Ia pun kemudian bercerita tentang makna surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurutnya perintah Tuhan kepada manusia untuk mengenal dan menghargai perbedaan. Dari pengenalan itu manusia akan menjadi bertakwa. Namun, ia mempunyai tafsir sendiri terkait makna takwa yang ia temukan setelah mencari dari berbagai kamus bahasa Arab, Inggris, Perancis dsb. Baginya, takwa bukanlah sekedar taat dan bukan rasa takut kepada Tuhan, melainkan conciusness of God (kesadaran akan Tuhan). Dalam pemhamannya, setelah manusia mempunyai kesadaran akan Tuhan ia tak akan pernah mengklaim dirinya yang paling benar. Ia akan senantiasa menghormati setiap orang yang mempunyai keyakinan yang berbeda.

“Setelah saya jadi seperti ini, saya tak pernah memaksa anak saya untuk memilih suatu ajaran, agama, keyakinan atau agama tertentu. Saya membebaskan mereka untuk memilih apa yang dikehendakinya”, tuturnya.

Franky yang juga anggota teosofi punya cerita lain. Ia adalah laki-laki Kristen yang menikah dengan perempuan Islam. Ia menikah dengan cara Islam, namun ia tetap kokoh dengan keyakinannya. Hingga suatu hari ia dipaksa untuk masuk Islam alias menjadi mualaf. Atas dasar ini, ia kemudian belajar Kristen dan Islam secara mendalam dan serius. Dengan sedikit gurau ia menyatakan bahwa alih-alih mendapatkan pencerahan, ia justru semakin bingung setelah mempelajarinya. Namun pada akhirnya ia bisa menjelaskan kepada istrinya terkait agamanya dan bagaimana secara historis memiliki keterkaitan dengan Islam.

Di bawah lambang yang terpancang di dinding ruangan itu ada kalimat bertuliskan: “Satyan Nasti Paro Dharmah”yang berarti “Tak Ada Agama Yang Lebih Tinggi Daripada Kebenaran”. Anggota teosofi yang akrab disapa pak Gun menerangkan bahwa kebenaran laiknya kepingan kaca yang bertebaran di mana-mana. Dan kebanyakan orang hanya menjumput satu kepingan dan mengklaim bahwa inilah kebenaran. Padahal ada kepingan-kepingan lain yang mereka tidak tahu. 

Kelompok teosofi adalah orang yang berusaha untuk mengumpulkan kepingan-kepingan itu. Pekerjaan itu tak pernah mengenal tuntas. Mereka tahu bahwa meiniti jalan menuju Yang Maha begitu penuh dengan rintangan. Namun mereka sadar bahwa hidup tak akan pernah bermakna bila orang tak meniti jalan itu.

Sikap mereka yang inklusif tersebut mendapatkan respon yang terbalik dari masyarakat. Mereka kerap mendapatkan persekusi, cercaan dan hinaan dari banyak orang. “Kita sering dianggap aliran sesat, Yahudi, Freemason dsb”, kata Dani. Namun mereka menganggap respon demikian dengan sikap tenang. Bagi mereka orang yang beranggapajn seperti itu adalah orang yang sebenarnya belum tahu. Tak ada rasa mencela balik dalam diri mereka. Sebab, hal itu sudah jamak terjadi bagi para perindu Tuhan di sepanjang masa.  .

Tags:
Story
Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.