Ad Under Header

Persewaan Buku Melati: Tergerus Digitalisasi, Dihantam Pandemi

Persewaan Buku Melati: Tergerus Digitalisasi, Dihantam Pandemi

 

Persewaan Buku Melati : Tergerus Digitalisasi, Dihantam Pandemi

Seorang laki-laki menata puluhan buku di sebuah meja berbentuk persegi. Keringat mengucur dalam tubuhnya akibat udara pengap yang terus menguar. Di sampingnya ada lemari berisi ratusan buku yang tertali rafia.

 

Lelaki itu adalah Suhardi (56). Sejak jam 11 siang hingga setengah 10 malam, ia akan menanti pelanggan yang datang untuk menyewa bukunya. Hanya pada hari Jumat saja ia memulainya pada jam 2 siang.

 

Selama 40 tahun, ia melakoni rutinitas itu tanpa kenal lelah, walau usaha sewa buku makin tak terlihat oleh pelupuk mata. Dengan niat yang nyaris keras kepala, ia berupaya mempertahankan usaha itu entah bagaimanapun caranya.

 

Ia mengenang satu dekade silam ketika banyak anak SD, SMP, SMA hingga kuliah datang berkunjung untuk mencari novel atau komik terbaru. Mereka seakan tak peduli dengan ruangan sempit yang hanya mengandalkan udara yang masuk lewat pintu depan.

 

“Dulu itu pernah 50 orang naik bis dan mobil dari lamongan datang ke sini”, kenangnya.

Namun, itu adalah cerita masa lalu. Usahanya yang ia namakan Persewaan Buku Melati itu kini tak seharum namanya. Setiap harinya hanya ada dua tiga orang yang datang atau bahkan tak seorangpun. Merekapun mayoritas adalah pelanggan lama.

 

“Pengunjung yang pasti itu ada tiga. Orang dari Juanda, Ciputra dan mahasiswa Universitas Pembangunan Negeri”, tuturnya.

 

Tergerus Digitalisasi

 

Bagi Suhardi, penyebab sepinya pengunjung adalah faktor perkembangan zaman. Di era digitaliasi ini, banyak anak kecil lebih suka bermain gawai ketimbang membaca buku. Mereka lebih senang bermain game atau media sosial ketimbang membaca komik Kho Ping Hoo, A. Kosasih, Jan Mitaraga dll.

 

Karena itu, anak kecil yang datang ke tempatnya rata-rata adalah anak dari pelanggan lamanya.  

“Orang-orang lama itu kebanyakan anaknya diarahkan di sini. Jadi gak cuma main HP aja, tapi juga baca buku. Mereka akhirnya seperti orang tuanya dulu”, katanya.

 

Memang, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, 67, 88 persen penduduk Indonesia yang berusia 5 tahun ke atas sudah memiliki gawai. Jumlah itu meningkat dibanding tahun 2021 yang berkisar pada angka 65, 87 persen. Jumlah itu sekaligus menjadi rekor tertinggi selama satu dekade terakhir.

 

BPS juga mencatat bahwa persentase penduduk Indonesia yang mengakses intenet pada 2022 mencapai kisaran 66, 48 persen. Angka ini naik 7, 05 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 62, 1 persen. Dalam persentase itu, kelompok usia anak-anak (5-12 tahun) menempati golongan ketiga dengan 12, 43 persen.

 

Karena digitalisasi juga, banyak bermunculan buku-buku elektronik. Buku jenis ini lebih banyak diminati ketimbang buku cetak. Alasannya lebih praktis dan tentu lebih murah.

Berdasarkan hasil survei Databoks pada 2023, orang Indonesia yang membaca buku melalui gawai mencapai angka 83 persen. Sementara orang Indonesia yang membaca buku fisik hanya 12 persen.  Angka itu lebih tinggi dari negara asia lainnnya seperti, Vietnam dengan 80 persen dan Fhilipina dengan 72 persen.

 

Walau perkembangan zaman yang sedemikian, tak ada niatan bagi Suhardi untuk memperomosikan usahanya melalui media sosial. Ia hanya mengandalkan pengunjung yang entah karena langka atau unik, memotret dan mengunggah usahanya di media sosial. Dengan ini, ia cukup yakin orang akan datang ke tempat usahanya di bilangan Ngagel Timur IV No. 15 Pucang Sewu, Gubeng, Surabaya.

 

Dihantam Pandemi

 

“Sehari itu dulu sampek 300 ribu. Beneran. Saya nggak bohong”, tukas Suhardi saat menceritakan penghasilannya di masa silam. Usaha sewa buku yang cukup mujur kala itu, ditambah dengan kerja sampingan menjadi pengojek, akunya dapat mengantarkan anak perempuannya menjadi Pegawai Negeri Sipil dan anak laki-lakinya kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).

 

Namun, kemujuran itu lantas menjadi kojur ketika pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam. Ia tak lagi menjadi pengojek karena kalah saing dengan pengojek online. Tak banyak juga orang yang menyewa buku. Karena itu, ia membuka warung kopi untuk menutupi kebutuhan hidupnya.


“Saya berhenti gojek itu sejak tiga tahun yang lalu gara-gara Covid itu. Saya akhirnya buka warung kopi gini, di samping sewa buku. Kalau cuma mengandalkan usaha sewa buku ya nggak cukup. Udah nggak kayak dulu lagi”, katanya.

 

Dalam penelitian yang berjudul Covid-19 dan Resiliensi UMKM Dalam Adaptasi Kenormalan Baru, Boyke Rudi Purnomo mengatakan bahwa Covid-19 berdampak pada UMKM dan sektor informal.

 

Salah satunya adalah menurunnya jumlah konsumen akibat kebijakan pembatasan sosial dan bekerja dari rumah. Dengan kebijakan ini, orang lebih suka menghabiskan waktu di rumah ketimbang di luar. Orang hanya keluar rumah bila ada kegiatan yang urgen saja. Maka, tak ayal bila omzet harian UMKM hanya tinggal 10-15 persen saja.

 

Dengan membuka warung kopi itu, ia mendapatkan omzet harian sebesar 150 ribu. Pendapatan yang menurutnya cukup untuk menanggulangi usaha sewa buku yang makin lama makin tak pasti. “Wis kabeh tak lakoni seng penting halal”, ungkapnya.

 

Dilarang Tutup Pelanggan

 

Kondisi yang demikian tak membuat semangat Suhardi menjadi surut. Setiap sebulan sekali ia akan pergi ke Toko Buku Uranus untuk mencari novel atau komik terbaru. Di toko itu, ia akan membeli novel atau komik yang sedang laris di pasaran atau dapat menarik hati pelanggannya. Rutinitas itu selalu dilakukan meski kini ia hanya memiliki sekitar 50 anggota penyewa buku.

“Ya kasihan sama pelanggan. Kalau bukunya seri kan harus beli lanjutannya”, katanya menerangkan.

 

Namun, ia cukup resah dengan harga buku yang relatif mahal. Sebab, ia lebih memilih buku original ketimbang bajakan kendati harus merogoh gocek sebesar ratusan ribu rupiah.

 

Hal tersebut cenderung berbalik dengan harga sewa buku yang relatif murah. Ia membrandol tarif 10 persen dari harga asli buku untuk penyewa. Bila harga buku 100 ribu, maka harga sewa adalah 10 ribu. Dengan harga itu, orang dapat menyewa bukunya selama seminggu.

 

“Kendalanya, buku kalau nggak dipinjam 5 sampai 10 orang ya rugi”, ungkapnya.

Ia pun cenderung memudahkan persyaratan menyewa buku. Orang hanya perlu menggandakan KTP untuk dapat menyewa bukunya. Bagi pelajar yang belum mempunyai KTP, kartu tanda siswa dapat dipakai. Hanya untuk orang luar Surabaya saja, ia meminta KTP kerabat Surabaya atau memilih KTP-nya ditinggal.

 

“Dulu itu mbeling-mbeling. Buku saya lama nggak dikembalikan. Saya sampai nyamperin ke rumahnya setelah ditelpon berkali-berkali belum dikembalikan”, katanya.

 

Ada alasan tersendiri mengapa ia tetap mempertahankan usaha yang di banyak tempat sudah ditutup. Sekalipun tak pernah lulus sekolah dan tak suka membaca buku, ia merasa senang melihat banyak orang di sekitarnya membaca buku. Ia pun bersyukur dapat mencari lembaran rupiah dengan usaha bermanfaat itu.

 

Selagi kondisi tubuhnya tetap memungkinkan, ia bertekad untuk terus menjalankan usahanya walau pemerintah tak pernah mensubsidi dan anaknya tak dapat melanjutkannya.

“Orang-orang itu sering bilang mas Hardi jangan ditutup usaha ini. Karena usaha seperti ini sudah nggak ada lagi”, pungkasnya.

Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.