Ad Under Header

Rumah Seni Pencantingan: Asa Kolektif Merawat Kesenian

Runah Seni Pencantingan: Asa Kolektif Merawat Kesenian

 

Rumah Seni Pencantingan. Dokumentasi : @rumahsenipecantingan

Lelaki gondrong berjanggut hitam duduk di sebuah kursi kayu. Perawakannya tenang. Suaranya lembut. Rokok hampir selalu terapit dalam jarinya. Ia menghirup kopi sembari memperkenalkan diri. “Nama saya Zalfarobi. Umur saya 34 tahun.” Ia adalah jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja. Kini bersama dua kawannya, ia menjadi pengurus induk Rumah Seni Pencantingan.

Ia bercerita bahwa Rumah Seni Pencantingan merupakan lokus yang dimanfaatkan oleh para seniman untuk merawat kesenian. Dulunya, lokus itu adalah milik seorang seniman bernama Jumadi. Namun, ketika pergi ke Australia Jumadi menghibahkan lokus itu kepadaa paraa seniman untuk merawat kesenian.

Sejak didirikan pada tahun 2001, Rumah Seni Pencantingan mengalami perubahan nama selama tiga kali. Awalnya bernama Sanggar Seni Pencantingan, kemudian berubah menjadi Rumah Budaya Pencantingan, berubah lagi menjadi Rumah Kayu Pencantingan hingga terakhir, Rumah Seni Pencantingan.

Nama Pencantingan sendiri merujuk pada lokasi tempat itu yang terletak di Jl. Pencantingan, Cantingan, Sekardangan, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo. Walau demikian, para pengurus Rumah Seni Pencantingan hingga kini masih mencari makna dari kata Pencantingan itu sendiri.

Ada tiga bangunan yang dimiliki Rumah Seni Pencantingan: bangunan depan dimanfaatkan sebagai warung kopi Mbah Cantingan, bangunan tengah digunakan sebagai tempat pertunjukkan hasil produksi kesenian dan bangunan belakang digunakan sebagai tempat proses produksi kesenian.

Tiga bangunan itu hampir tak menggambarkan suasana Urban. Latar masa silam mendominasi tiga bangunan itu. Ini ditambah dengan banyaknya pohon rindang yang menyembul, bekas kolam tambak yang teronggok dan tungku sebagai tempat untuk merebus umbi-umbian.

“Kita mencoba mengimajinasikan kembali tempoe doeloe. Kita memang sedang mengarahkan Sidoarjo 200 tahun silam itu, misalnya, bagaimana. Kita sedang mengkonstruksi itu”, katanya menjelaskan.

Kondisi geografis dan aristektur yang kuno memang sudah ada ketika ia dan sejawatnya menginjakkan kaki di tempat itu. Mereka tak pernah merenovasi arsitektur bangunan yang ada di sana. Dengan modal dari kantong sendiri, mereka menambah bangunan depan dan tengah yang juga dikonstruksi dengan latar kuno. Tak ada keinginan dari mereka untuk memodernisasi kondisi geografis dan arsitektur tersebut. Bahkan, kopi dan menu-menu lain yang ada di warung Mbah Cantingan akan dibuat sesuai yang ada di masa silam.  

“Sebenarnya konsep besarnya, di dalam rumah seni pencantingan itu kita sedang membangun Project Delta. Apa itu Project Delta? Jadi, Project Delta itu bagaimana kita memahami, mempelajari dan menyadari Sidoarjo dari segi geologinya, dari segi daratannya, untuk bisa kita aplikasikan dalam bentuk kesenian”, ungkapnya menjelaskan.

Selain warung Mbah Cantingan, Rumah Seni Pencantingan memiliki beberapa program lainnya yakni, nobar film yang disebut dengan Program Netrarungu, diskusi publik yang disebut Program Forum Tukar Tambah dan pameran atau pertunjukkan seni yang disebut Program Open Lab. Program Netrarungu dan Program Forum Tukar Tambah diselenggarakan dua minggu sekali, sementara pameran atau pertunjukkan diselenggarakan tiga bulan sekali. Setiap program itu memiliki penanggung jawabnya masing-masing. Khusus untuk Program Open Lab penanggung jawabnya langsung pada pengurus induk.

Genre film yang ditonton dalam Program Netrarungu cukup beragam; dari dokumenter, film pendek hingga film panjang. Sedangkan, pertunjukkan seni dan pameran seni dalam Program Open Lab tak pernah diselenggarakan secara bersamaan. Setiap tiga bulan sekali, pengurus induk akan memilih apakah akan menyajikan pertunjukkan seni atau pameran seni. Jenis seni yang dipertunjukkan sangat beragam seperti, teater, seni film, seni rupa dll. Sementara jenis seni yang dipamerkan umumnya bersifat kontemporer seperti, seni sound, seni media dan seni video.

Program itu terbuka untuk umum. Rumah seni pencantingan tak pernah membatasi hanya pada seniman saja yang dapat mengikuti program itu. Tak heran, banyak orang dari berbagai latar belakang yang meliputi akademisi, aktivis, mahasiswa, penikmat seni dsb terlibat aktif dalam program itu. Kendati sudah memiliki program yang cukup padat, Rumah Seni Pencantingan berencana untuk menambah beberapa program lagi seperti, budidaya tambak dan berkebun.

“Kita akan masuk pada ranah wilayah pangan. Tapi memang belum. Ini sedang kita jalankan, artinya bagaimana kita akan membuat sebuah ekonomi mandiri. Arahnya mungkin seperti itu. kita akan membuat sebuah lahan pangan dan dengan lahan pangan itu kita akan coba produksi dan setidaknya itu bisa menjadi konsumsi dalam lingkup kecil ini dulu ya, untuk keseharian. Di satu sisi dari dari pangan ini kita coba aplikasikan dalam bentuk tempat studi”.

Baik program Mbah Cantingan maupun program pangan yang direncanakn tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengembangkan kesenian. Artinya, hasil yang diperoleh dari dua program itu diarahkan untuk mendukung berbagai kegiatan kesenian yang diselenggarakan di Rumah Seni Pencantingan.

Dalam kerja-kerja itu, mereka hadir sebagai kelompok yang mengisi kekosongan tugas kesenian di Sidoarjo. Patut diakui, kota itu memang memiliki banyak bentuk kesenian subkultur dan tradisi, namun usaha memproduksi karya, mendistribusikan karya dan membangun jaringan di antara komunitas seni belum pernah dikerjakan. Dalam hal ini, mereka membangun partnership dengan Rumah Budaya Malik Ibrahim, Dewan Kesenian Sidoarjo dan berbagai komunitas seni lainnya.

Semua itu dilakukan, salah satunya, sebagai upaya untuk menghargai para seniman. Mereka sadar dan paham bahwa merawat kesenian harus disertai dengan penghargaan terhadap seniman. Namun, untuk mendapatkan penghargaan, seniman sendiri harus bersungguh-sungguh dalam berproses dan menghargai apa yang ia kerjakan. Untuk itu, mereka berupaya mendampingi, mengedukasi dan membimbing para seniman dalam proses produksi karya seni.

“Jadi memberikan sebuah diskursus, bagaimana kita mengapresiasi seniman dan bagaimana seniman mengapresiasi apa yang ia kerjakan. Artinya, kalau tanpa diskursus hal itu menjadi sangat egosentris sebetulnya. Jadi, seniman bekerja secara asal-asalan dan secara ngeyel minta untuk diapresiasi. Itu kan hal yang nggak balance ya”, tutupnya mengakhiri pembicaraan

Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.